Penegakkan Tiang Agama

Acyuta Jr.
2 min readJun 30, 2021

Sholat merupakan tiang agama, hal ini bersifat wajib bagi penganut agama Islam di seluruh penjuru dunia. Dalam sholat pun terdapat beragam ketentuan dan keunikan yang bahkan sampai sekarang pun belum dapat dikuasai mayoritas penganutnya. Inilah yang menjadikan Sholat suatu ibadah yang tergolong unik — ia merupakan kunci surga bagi umat Islam, tetapi tingkat kesulitan untuk menjalaninya dengan sempurna sangatlah rumit.

Salah satu ketentuan yang diutamakan terletak dalam Al-Quran adalah kewajiban bagi seorang pria untuk sholat di masjid. Bahkan, menurut hadits kita (umat muslim) diperbolehkan membakar rumah seorang lelaki yang tidak sholat berjamaah di masjid, “Aku pernah berniat memerintahkan shalat agar didirikan kemudian akan kuperintahkan salah seorang untuk mengimami shalat, lalu aku bersama beberapa orang sambil membawa beberapa ikat kayu bakar mendatangi orang-orang yang tidak hadir dalam shalat berjama’ah, dan aku akan bakar rumah-rumah mereka itu,” (Muttafaq ‘alaih).

Sesuai dengan pengalaman dan pengamatan, tetangga di sekeliling rumah saya senantiasa melakukan sholat berjamaah di masjid komplek kami — kebiasaan ini terus dilakukan baik sebelum dan setelah Covid-19 mewabah, meskipun jumlah jamaahnya tidak sebanyak ketika sebelum wabah ada. Hal ini mungkin terjadi karena memang para tetangga di lingkungan saya memiliki kesadaran tinggi akan pentingnya menegakkan tiang agama. Selain itu, rumah yang berjarak cukup dekat juga menjadi faktor pendorong budaya tersebut — baik sebagai kesadaran maupun rasa tanggung jawab.

Kebiasaan yang menjadi budaya ini dilakukan tidak hanya untuk waktu sholat tertentu dan wajib saja, apabila ada pengajian, sholat jenazah, sholat taraweh, dan rangkaian ibadah lainnya mereka senantiasa menunaikannya dengan ikhlas di masjid.

Hal ini dapat menjadi pelajaran bagi kita semua bahwa sejatinya tidak ada alasan untuk berhenti beribadah sekalipun kondisi berubah. Semua kembali pada kesadaran dan tingkat iman masing-masing individu, tetapi bukan berarti kita jadi melupakan segalanya dan pergi ke masjid ketika zona daerah kita merah atau bahkan hitam. Perbuatan seperti itu merupakan miskonsepsi yang menyepelekan mukzizat Allah SWT.

Sebagai seorang individu dan bagian dari masyarakat ini, saya merasa unsur keagamaan di lingkungan tempat tinggal saya memanglah sangat kental, mungkin ini merupakan personifikasi dari statistika usia mayoritas penghuni lingkungan saya yang merupakan orang tua atau pensiunan.

Kekentalan berupa kebiasaan menjadi budaya tersebut membentuk sebuah adat fatamorgana yang memberikan tekanan berupa rasa malu kepada para tetangga pria lain yang tidak ikut menunaikan ibadah di masjid secara tepat waktu. Lambat laun, tekanan tersebut menjadikan sholat di masjid menjadi sebuah kewajiban di lingkungan sekitar saya dan para tetangga akhirnya menyambut kebiasaan ini secara lapang dada dan menikmatinya secara tidak langsung.

Lagipula, sholat merupakan ibadah yang menjadi kunci utama kita untuk tinggal di surga Allah, daripada kita merasa terbebani dengan kewajiban tersebut, alangkah baiknya jika kita menikmati prosesnya. Terkadang selain dari kenikmatan fisik dan sedikit olahraga yang dapat dirasakan ketika menunaikan ibadah sholat berjamaah, saya juga merasakan kenikmatan pada tingkat mental atau batin — seakan-akan Allah sedang melihat hambanya dan mendengarkan permohonan hamba-Nya secara langsung.

--

--